Indra Sjafri menganggap pembinaan pemain usia muda sangat penting.
Pelatih timnas U-19 Indra Sjafri
mengungkap rahasia di balik kesuksesannya membawa anak asuhnya
menjuarai Piala AFF 2013 dan lolos ke putaran final Piala Asia 2014 U-19
di Myanmar.
Sosoknya semula relatif tidak banyak dikenal. Dia juga jarang disebut jika dibanding para legenda sepak bola Indonesia.
Namun demikian, setelah tim nasional
Indonesia U-19 meraih juara Piala AFF 2013 dan lolos ke putaran final
Piala Asia U-19, namanya langsung melejit.
Masyarakat lantas menyanjungnya setinggi langit.
Para pencinta sepak bola kemudian seperti menemukan pahlawan baru di
tengah keterpurukan sepak bola Indonesia.
Maklum saja, ini adalah prestasi tertinggi sepak
bola Indonesia setidaknya dalam 22 tahun terakhir di tingkat Asia
Tenggara dan Asia.
Sosok penting di balik prestasi yang membanggakan itu adalah Indra Sjafri.
Pria kelahiran Lubuk Nyiur, Batang Kapas, Sumatera Barat pada 2 Februari 1963, adalah pelatih tim Garuda Muda alias timnas U-19.
Indra Sjafri dan timnas U-19 ketika juara HKFA di Hongkong, 2013.
Apa rahasia utama di balik keberhasilan itu?
"Mental yang paling cepat menggerakkan kita,"
kata Indra Sjafri, dengan nada tegas, dalam wawancara khusus dengan
wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Senin 28 Oktober 2013 lalu, di
sebuah hotel di Jakarta.
Biodata singkat Indra Sjafri
- Nama lengkap: Indra Sjafri
- Tanggal lahir: 2 Februari 1963
- Tempat lahir: Lubuk Nyiur, Batang Kapas, Pesisir selatan, Sumatera Barat.
- Jabatan: Pelatih timnas Indonesia U-19.
- Karier pemain:
PSP Padang (1986-1991)
Pelatih Indonesia U-16 (2011-2013)
Pelatih Indonesia U-19 (mulai 2013)
Kepada anak asuhnya, Indra selalu menanamkan nilai-nilai bahwa Indonesia adalah negara besar.
“Dengan membayangkan bahwa kita negara besar
yang penduduknya sekian puluh juta, itu saja sudah cukup,” tandasnya,
menyebut salah-satu cara membangun percaya diri para pemainnya.
Selama ini, menurut Indra, ada mental kurang percaya diri yang menghinggapi timnas Indonesia.
“Cuma karena di pikiran kita sudah dibangun
mental yang selalu di posisikan sebagai orang yang ada di bawah, ya kita
akan kalah terus, siapapun lawan kita,” ungkapnya.
Mental seperti itu yang dia rombak habis-habisan.
“Kita tidak mau lagi bicara: mudah-mudahan kita
bisa mengalahkan Jepang. Tidak itu lagi bahasanya! Kita sudah harus
memposisikan kita sejajar dengan mereka. Bahkan kita lebih dari mereka!”
tandasnya.
‘Raksasa Asia’
Usai menundukkan tim kuat Korea Selatan (3-2) di
laga terakhir penyisihan Grup G Piala Asia U-19, Indra Sjafri dengan
agak emosional menyatakan bahwa "timnas Indonesia saat ini layak disebut
sebagai raksasa Asia."
Indra Sjafri ketika menandatangi perpanjangan kontrak sebagai pelatih timnas U-19.
Hal itu dia sampaikan usai laga yang mengantar anak asuhnya lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Myanmar 2014.
"Kemampuan passing (umpan-umpan) kita, itu sudah setara dengan tim-tim elit di Eropa."
“Itu saya tidak asal ngomong,” kata Indra saat saya tanyakan apa yang membuatnya melontarkan kalimat tersebut.
Menurutnya, semua itu didasarkan data statistik yang menunjukkan bahwa anak asuhnya “lebih baik dari negara-negara lain”.
“Kemampuan
passing (umpan-umpan) kita, itu sudah setara dengan tim-tim elit di Eropa,” ungkapnya.
Ketika timnas U-19 menekuk Korsel 3-2 di kualifikasi Piala Asia U-19.
Apalagi, tambahnya, para pemainnya telah melalui
proses panjang yaitu tujuh kali laga di Piala AFF serta tiga kali
pertandingan pada babak kualifikasi AFC.
“Ini yang membuat saya yakin,” tegas mantan pemain klub PSP Padang (1986-1991).
Timnas U-19 yang berhasil lolos ke putaran Piala Asia 2014 di Myanmar.
Apabila nantinya anak asuhnya mampu lolos sampai
semi final Piala Asia U-19 2014 hingga berhak tampil di Piala Dunia
2015 di Selandia Baru, dia yakin Evan Dimas dan kawan-kawan akan menjadi
tim terkuat di Asia.
“Kalau proses ini bisa dilalui, saya yakin di
usia 21 tahun ke atas, mereka bakal menjadi tim yang terkuat di Asia.
Saya yakin itu,” kata ayah dua anak ini.
Sepak bola modern
"Saya sampaikan kita tidak bisa lagi mengelola sepak bola dengan cara-cara yang tradisional"
Mantan pemain sayap ini juga menyatakan bahwa
perencanaan yang matang merupakan rahasia lain di balik kemenangan
anak-anak asuhnya.
"Tim ini tidak
ujuk-ujuk bisa juara. Sudah disiapkan waktu agak panjang," kata Indra.
Indra Sjafri mempraktekan sepak bola moderen dalam menangani timnas U-19.
Dia kemudian memberikan salah-satu contoh perencanaan, yaitu ketika harus menyeleksi dan memilih materi pemain timnas U-19.
"Kita harus memilih pemain terbaik di Indonesia. Makanya, saat memilih pemain yang merupakan hasil
blusukan, kita tetapkan standar," ungkapnya.
Menurutnya, standar yang dia terapkan merupakan standar Asia atau dunia.
"Kalau mau bicara piala dunia atau Asia, standarnya harus standar Asia atau dunia. Tidak mungkin di bawah itu," akunya.
'Bermain bola di sawah'
Bagaimana Anda mengenal sepak bola?
Saat SD mulai bermain di tengah
sawah. Sehabis panen padi, kita datarkan tanahnya dan kita main di situ
atau main di kebun-kebun orang. Pokoknya tiap hari main bola. Tamat SMP,
saya pindah ke kota Padang. Itu baru latihan sepakbola teratur, karena
saya masuk klub Makudum, milik sebuah hotel, sebelum masuk PSP Padang
yunior. Di PSP senior, saya ikuti antar kompetisi antar perserikatan
kurang lebih 4 atau 6 tahun.
Anda dulu di posisi apa?
Posisi saya dulu kanan luar.
Siapa idola pemain sepak bola Anda saat itu?
Oh, banyak pemain hebat saat itu. Ada Junaedi Abdillah, Ronny Patty, Andi Lala.
Siapa pemain luar negeri yang Anda idolakan?
Di jaman itu, Socrates dan tim Brasil di Piala Dunia 1982.
Sejauhmana gaya permainan tim Brasil 1982 mewarnai anda saat membesarkan timnas U-19?
Saya begini saja, segala sesuatunya
kalau dinikmati, enak dilihat. Contoh lihat Brasil, dia kalau bermain
bola dinikmati oleh pemainnya. Dia kuasai bola. Ya, dia sederhanakan
sepakbola, sebenarnya. Itu mengilhami saya. Dan saya juga ingin pemain
saya seperti itu.
Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga, di tengah totalitas Anda di dunia sepakbola?
Ini namanya pengorbanan ya. Pasti
kalau kita ingin berbuat sesuatu. Tetapi Alhamdulillah, komunikasi tidak
seperti dulu lagi. Kita berkomunikasi seperti halnya bertemu. Dan
Alhamdulillah, sejak saya lakoni sebagai pelatih timnas sejak 2011,
lancar saja. Keluarga dan anak mendukung saya.
Ada anak anda yang mengikuti langkah Anda?
Ada satu, yaitu Andaru. Dia juga bermain sepakbola, tetapi tidak fokus. Dia masih kuliah sekarang.
Dia menekankan, untuk menentukan sebuah standar, maka harus ada parameter.
Di sinilah, akunya, dia dibantu tim ahli dengan
berbagai spesialisasi. "Saya tidak kerja sendiri, kita punya 13 orang
staf untuk memilih pemain terbaik. Dan pemain terbaik itu cerminan yang
tampil di Piala Asia dan AFC."
Intinya, Indra Sjafri menerapkan sepak bola modern sejak dia dipercaya menjadi pelatih timnas U-16 (2011) dan U-19 (2013) lalu.
“Saya sampaikan kita tidak bisa lagi mengelola sepak bola dengan cara-cara yang tradisional,” ungkapnya.
Di sinilah, dia melibatkan
sport science untuk “mengambil berbagai keputusan taktikal, keputusan program yang akan kita buat, yang harus dari informasi dan data”.
Indra kemudian mencontohkan persiapan timnya
menjelang lawan Korsel. Saat itu timnya mengumpulkan data terkait calon
lawannya itu -- termasuk rekaman video latihan mereka.
Setelah mendiskusikan kelebihan dan kelemahan
masing-masing, Indra dan timnya kemudian merumuskan “apa yang harus
dilakukan saat di lapangan.”
“Jadi, saya berharap, tim-tim lain harus mempergunakan hal ini dan tidak bisa lagi kita menetapkan
tactical by feeling atau
by visual dengan melihat dengan kasat mata,” katanya lebih lanjut.
Mengapa blusukan
Tentang aktivitas
blusukan mencari
pemain berbakat dengan mendatangi berbagai wilayah terpencil di
Indonesia, Indra mengaku itu dilakukannya karena tidak ada kompetisi
tingkat usia muda.
"Blusukan itu akibat tidak adanya sistem yang bagus, tidak adanya kompetisi yang berjenjang,” ungkapnya, berterus-terang.
“Ini ‘kan yang belum berjalan. Saya tidak
mungkin menunggu. Kalau menunggu kapan kita bekerja," katanya lagi,
seraya tertawa tipis.
Indra Sjafri mencari pemain berbakat sampai ke Aceh dan menemukan sosok Sandi Gunawan.
Upaya mencari pemain berbakat itu dilakukan
Indra setelah gagal membawa timnas U-16 lolos dari kualifikasi Piala AFC
di Bangkok, 2011 lalu.
Menurutnya, saat itu dia sudah disodori sekitar
50 orang pemain, yang disebutnya sebagian besar mungkin dari wilayah
Jakarta dan sekitarnya.
Indra Sjafri bersama para pemain muda dari Bengkulu yang akan diseleksi.
“Nah ini ‘kan bukan mencerminkan kekuatan Indonesia yang sebenarnya,” katanya.
Ketika melontarkan rencananya untuk mencari
pemain berbakat di daerah, sebagian orang meremehkannya, dengan
mengatakan bahwa di daerah sulit mencari pemain berbakat.
Indra Sjafri di sebuah stadion di Ambon, di sela-sela seleksi pemain timnas U-19.
“Ini yang keliru. Lebih banyak orang berlatih di
kampung-kampung dari pada di kota, karena fasilitas masih banyak.
Lapangan-lapangan terbuka masih banyak. Di kota kapan orang bisa bermain
sepakbola? Itu dasarnya,” papar Indra.
Adakah pengalaman yang mengharukan ketika Anda melakukan blusukan? Tanya BBC.
"Ini yang keliru. Lebih banyak orang berlatih di kampung-kampung dari pada di kota, karena fasilitas masih banyak..."
Saat melakukan pemantauan di daerah-daerah, Indra bertemu beberapa pemain yang mengaku “senang luar biasa.“
Pasalnya, kebanyakan anak-anak itu tidak pernah ikut seleksi atau kompetisi, katanya.
”Jadi mulai lahir dan terus bermain bola ya di kampung itu terus,” ungkapnya, agak getir.
Walaupun demikian, Indra mengaku tidak selalu menemukan pemain berbakat di setiap daerah yang dikunjunginya.
“Ada yang tidak ada sama-sekali,” katanya setengah tergelak. “Tapi setidaknya mereka ‘kan sudah diberi kesempatan.“
Sepak bola ala Indonesia
“Saya selalu menyederhanakan sepakbola,” kata
pengagum timnas Brasil di Piala Dunia 1982 ini, saat saya menanyakan apa
filosofinya dalam bersepakbola.
Gaya permainan timnas U-19 dianggap mirip tim Barcelona.
“Kalau mau memenangkan pertandingan,“ ungkapnya,“ mau tidak mau kita harus menguasai bola.”
"Saya tidak mau (gaya permainan timnas U-19) dinamakan tiki taka, saya bilang pe-pe-pa, pendek-pendek-panjang"
Ucapannya ini mengingatkan pada gaya permainan
klub Barcelona dan Timnas Spanyol saat ini yang memang dikenal dengan
penguasaan bola yang sangat ekstrim.
Namun Indra Sjafri tidak mau disebut jika anak asuhannya mengadopsi gara permainan
tiki taka dua tim tersebut.
"Saya tidak mau (gaya permainan timnas U-19) dinamakan tiki taka, saya bilang
pe-pe-pa, pendek-pendek-panjang," katanya dengan nada serius.
Hal ini dia tekankan berulang-ulang, karena Indra ingin Indonesia memiliki jati diri sendiri.
“Indonesia harus punya pakaian sendiri. Cara
bermain sendiri, filosofi bermain sendiri. Gaya permainan sendiri,”
katanya dengan nada tegas.
Menurutnya, timnas Indonesia tidak bisa meniru “cara bermain orang luar“ yang dianggapnya sebagai kekeliruan.
Dia kemudian mengibaratkan sikap meniru gaya permainan itu dengan memaksa memaksakan baju orang lain untuk diri sendiri.
Indra Sjafri (berdiri, nomor tiga dari kiri) saat memperkuat klub PSP Padang (1986-1991).
“Pasti nggak pernah cocok,“ katanya.
Dari gambaran seperti itulah, Indra mengaku saat ini “berusaha membikin pakaian yang paling pas. “
Saat melawan timnas Korsel, Indra mengaku mempraktekan apa yang disebutnya sebagai gaya permainan ala Indonesia.
'Main di langit pun tak masalah...'
Seandainya Anda bisa mengulang waktu, apa yang ingin Anda lakukan?
Kalau di karir, saya ingin lebih
komplit, mungkin jadi pemain timnas yang bisa memperkuat negara. Yang
untuk kehidupan pribadi, coba kalau saya berprestasi dari dulu,
bagaimana berbahagianya orang tua saya.
Setelah kini Anda berhasil, apakah Anda 'berubah'?
Saya tetap seperti dulu. Tetapi ada
hal-hal yang pengaruhnya kurang bagus, orang terlalu berharap cukup
tinggi. Dan ini, kalau saya tidak bisa menenejnya, bisa-bisa akan
berakibat menjadi tekanan. Tetapi saya nikmati dulu, saya berusaha untuk
menej itu, makanya saya putuskan cepat kita (timnas U-19) untuk
berkumpul.
Mengapa mengambil lisensi pelatih muda?
Tentu orang punya filosofi
sendiri-sendiri, punya visi sendiri-sendiri. Sebenarnya kalau saya ingin
cepat terkenal waktu itu, saya sudah ditawarkan untuk melatih tim
senior, tapi untuk saya, kita ini jauh lebih bermanfaat di mana. Saya
melihat, sepakbola Indonesia perlu sentuhan dari mulai usia muda.
Ketika anda aktif sebagai pemain sepak bola, apakah anda sudah memikirkan bakal menjadi pelatih timnas?
Pesimis saya dulu. Tidak mungkin,
karena saya (saat itu) pernah merasa mampu untuk menjadi pemain timnas,
tetapi tidak pernah ada pemantauan bakat. Apalagi dulu kompetisinya
tidak kayak sekarang... Ditambah lagi cara pemilihan pemainnya, sudah
menjadi rahasia umum, kalau yang dekat dengan pelatihnya, dia yang
terpilih. Tapi ya itu tadi ini kan juga menyangkut jalan Tuhan ya. Saya
mungkin sudah diatur Tuhan untuk membantu timnas usia 19 tahun.
Target lolos Piala Dunia 2015 di Selandia Baru?
Ya, dan itu sudah saya siapkan dari 2011.
Momen Piala Asia dan Piala Dunia tentu medan yang lebih sulit ya, karena kita bermain tandang?
Nanti ada uji coba ke luar negeri,
yang tidak ada penontonnya. Tetapi pemain-pemain ini punya mental bagus.
Kita sudah coba bermain di Iran. Sama saja. Kita sudah pernah bermain
di Hongkong dan kita juara dua kali. Jadi kalau kita punya karakter,
punya mental yang bagus, mau main di langit pun, tidak ada masalah buat
kita.
“Kita akan mempertahankan itu,“ katanya seraya menambahkan, dia merencanakan menuliskan gaya permainan itu dalam bentuk buku.
Dia juga berharap ada seminar atau simposium
yang melibatkan pakar sepak bola dan kalangan perguruan tinggi untuk
mendiskusikan "seperti apa persisnya filosofi permainan sepak bola
Indonesia."
Memilih pola 4-3-3
Masih membicarakan gaya permainan sepak bola ala
Indonesia, Indra Sjafri kemudian menjelaskan alasan kenapa dia memilih
pola 4-3-3 di timnas U-19.
Menurutnya, ini tidak terlepas dari hasil perjalanannya ke berbagai wilayah pelosok Indonesia.
“Saya tahu persis apa yang dilakukan sepak bola-sepak bola di daerah,” ungkap Indra, mulai menjelaskan.
“Di daerah itu,” lanjutnya, masih dengan mimik
serius, “kalau tidak ada kiri luar dan kanan luar, orang nggak jadi main
bola. Selalu dia 4-3-3!”
“Nah berarti ‘kan sumber pemain 4-3-3 itu banyak. Kenapa kita latah merubah menjadi 4-2-2 dan lain-lain?”
Alasan lainnya, lanjutnya, dalam pola 4-3-3, jarak antar pemain relatif dekat.
“Jarak antar pemain tidak lebih dari 25 meter. Sangat dekat,” urainya.
Alasan terakhir adalah faktor sejarah, yaitu dari dulu, tim Indonesia relatif sukses dengan pola 4-3-3.
“Jadi, kenapa lari dari kenyataan? Kenapa hanya
ingin mengikuti model orang yang tidak cocok untuk kita, kita paksakan?”
katanya dengan nada tanya.
Mengapa sujud syukur?
Selama laga Piala AFF U-19 dan kualifikasi Piala
Asia U-19, para pemain U-19 yang mencetak gol hampir selalu
merayakannya dengan “sujud syukur”.
Apakah Anda melakukan pendekatan religius dengan para pemain? Tanya saya.
“Saya nggak habis pikir, hal yang paling
sederhana dan wajar (seperti sujud syukur), sekarang menjadi istimewa.
Karena, orang sudah melupakan hal-hal yang begitu,” katanya.
Menurut Indra Sjafri, apa yang dilakukan anak asuhnya itu hal yang wajar dan sederhana.
“Daripada dia buka-buka baju, dan melihat-lihatkan (bagian tubuhnya), lebih bagus sujud syukur,” katanya lagi.
"Daripada dia buka-buka baju, dan melihat-lihatkan (bagian tubuhnya), lebih bagus sujud syukur."
Dia juga menekankan bahwa aksi seperti itu
merupakan kesepakatan bersama antara pelatih dan pemain, dan bukan atas
instruksinya.
“
Ndak ada pemaksaan, pencitraan, tidak ada itu,” tandas Indra.
Demikian pula praktek cium tangan anak asuhnya terhadap dirinya, yang menurutnya, tidak perlu dimasalahkan.
“Sekarang malah jadi polemik: di Indonesia
nggak
ada budaya cium tangan. Mau ada atau nggak ada budaya cium tangan, tapi
kalau cium tangan para pemain kepada saya, membuat kami lebih makin
erat, saya akan langgar itu, mau ada budaya (cium tangan) atau nggak,”
katanya, tegas.
Tolak bintang iklan
Keberhasilan timnas U-19 meraih prestasi,
belakangan membuat para pemainnya kebanjiran tawaran iklan dengan nilai
kontrak yang menggiurkan.
Indra Sjafri bersama legenda Ronny Pattinasarani, saat mengikuti kursus kepelatihan.
Beberapa pemain inti, utamanya yang bermain
cemerlang, juga mulai diiming-imingi tawaran kontrak oleh beberapa klub
sepak bola profesional Indonesia.
Sebagai pelatih, Indra Sjafri langsung menyatakan penolakannya terhadap tawaran iklan dan kontrak klub-klub tersebut.
Indra Sjafri bersama istri dan dua anaknya (2005).
“Kami anggap tawaran itu mengurangi kefokusan kami dalam menghadapi Piala Dunia 2015,” tegasnya.
Saat ini menurutnya para pemainnya tidak membutuhkan apa-apa, selain “membutuhkan konsentrasi dan
support (dukungan) agar tim ini lolos ke piala dunia.”
Dia juga mengingatkan bahwa dia dan semua pemain terikat komitmen awal, yaitu mengangkat harkat bangsa dan keluarga.
Indra khawatir para pemain terganggu fokusnya jika saat ini disibukkan tawaran kontrak baru dari klub.
“Kalau sudah dikontrak, secara hukum dia kuat.
Dan klub banyak juga yang konyol. Negaranya minta (untuk memperkuat
timnas), dia bilang nggak bisa. ‘Kan cara berpikir kita nggak sama… Nah
ini salah-satu penyebab kenapa kita nggak memberikan (pemainnya) ke klub
(pada saat ini),” jelas Indra Sjafri.
Sumber:
http://www.bbc.co.uk/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131107_tokoh_indra_sjafri.shtml