Pompei, tahun 79.
Pagi itu keadaan kota perdagangan, Pompei seperti biasa. Pasar-pasar
hiruk pikuk, penuh sesak oleh penjual dan pembeli. Anak-anak yang tidak
bersekolah bermain di tepi jalan. Ibu-ibu sibuk bekerja di rumah.

Rupanya, hari itu kambing-kambing gembalaannya mau merumput di dekat pantai. Guiseppe pun membawa mereka ke sana. Dalam hati, Guiseppe bertanya-
Matahari semakin tinggi. Sementara kambing-kambingnya merumput, Guiseppe membuka bekalnya.
Tiba-tiba ... terdengar gemuruh dahsyat dari arah Gunung Vesuvius. Makin lama gemuruh itu makin dahsyat. Belum hilang keheranan Guiseppe, tiba-tiba bumi tempat Guiseppe berpijak bergoyang hebat. "Gempaaa!!!"
Kambing-kambing Giuseppe lari dengan panik ke tepi pantai. Terbirit-birit Giuseppe mengikuti mereka.
Ya, ampun kini si Gunung Vesuvius memuntahkan abu dan batu panas. Petir sambar menyambar. Langit menjadi gelap. Terbayang di pelupuk Giuseppe penduduk di kota pasti panik mencari tempat persembunyian. Ia pun membayangkan ibu dan ayahnya. Di mana mereka berlindung?
Dua hari lamanya Gunung Vesuvius mengamuk, Giuseppe pun terkurung di tepi pantai. Baru ketika keadaan sudah mulai tenang, ia mencoba berjalan pulang. Astaga apa yang dilihatnya? Kota Pompei, kota tempat tinggalnya, sudah terkubur oleh abu dan batu-batu. Sejenak Giuseppe termenung dan menangis. Ia kehilangan orang tua yang sangat dicintainya yang kemungkinan besar ikut terkubur.
Dengan langkah gontai, ia lalu mengungsi ke kota lain. Dalam hati ia berterima kasih pada kambing-kambing gembalaannya yang telah menyematkan dia. Seandainya, hari itu ia menggembalakan kambingnya ke lereng Gunung Vesuvius, dapat dipastikan ia sudah jadi korban.
sumber:http://www.kidnesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar