
“Tentu saja tidak!” Setengah mencibir Iwan berkata pongah. “Kapan aku pernah main-main?”
“Tapi, kau kan tahu apa resikonya?”
“Aaah, kecil!” Iwan meremehkan ucapan temannya sembari menjentikkan jari telunjuknya. “Apa kau percaya pada ocehan si Rio yang penakut itu?”
“Tapi, Wan, Rio mendengarnya sendiri dari Pak Karim.”
“Iya, tapi itu kan cuma gertak Pak Karim saja. Supaya kedondongnya tidak kita curi!” sanggah Iwan yakin.
Adi menggerakkan bahunya ke atas, “Terserah kau. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti terjadi apa-apa atas dirimu. Aku sudah mengingatkan.”
“Jadi, kau tidak mau ikut denganku?” tanya Iwan agak terkejut. Hatinya ngeri juga kalau sampai Adi tidak mau menemaninya.
Adi menggeleng pasti. “Tidak, ah! Untuk apa?”
Mata Iwan melotot. “Untuk apa, katamu? Ya sudah jelas untuk mengambil buah-buah kedondong itu. Kau pikir memanjat pohon kedondong untuk mengambil buah mangga?” sentak Iwan agak kesal.
“Apa katamu?” Karuan saja Iwan tidak mau menerima ucapan temannya. Meski sebenarnya ia juga takut, mana mau ia mengakuinya terang-terangan di depan Adi. Malu, dong!
“Kau dengar, Di. Tidak ada kata takut dalam kamus di otakku!” ujar Iwan meyakinkan. “Kalau kau tak mau ikut, ya sudah! Kau memang sama penakutnya dengan Rio!”
Adi tak menyahut. Ia malas berdebat dengan Iwan yang dianggapnya keras kepala itu. Biar saja ia mengatai aku penakut, yang penting aku tidak mau mencari bahaya. Pikir Adi dalam hati.
“Di, benar kau tidak mau ikut denganku?” Iwan masih juga penasaran.
Adi mengangguk. “Menurut Pak Karim, pohon kedondong itu angker. Banyak penunggunya!”
“Hantu, maksudmu?”
“Mungkin,” sahut Adi tak pasti.
“Ah, itu kan kuno! Sudah kubilang, itu semua cuma gertak Pak Karim saja, supaya buah kedondongnya aman dari tangan-tangan kita… hahahaha…” Iwan tertawa keras, menutupi kekhawatiran yang mendadak timbul lagi dalam hatinya.
Adi menunduk sambil tangannya mempermainkan ujung rerumputan di dekat ia duduk. “Mungkin juga kau benar.”
“Tentu saja!” potong Iwan cepat. “Kau tahu, hari Minggu besok, Pak Karim tidak ada di rumah. Rumahnya bakal kosong, paling-paling cuma dijaga si Brino – anjing kesayangan Pak Karim itu. Kita bisa bebas mengambil kedondongnya, Di!” ujar Iwan bersemangat. “Kau ikut, ya?”
“Tidak.” Lagi-lagi Adi menggeleng. “Itu kan mencuri,” sambung Adi hati-hati, khawatir menyinggung perasaan temannya.
“Itu kalau ketahuan. Kalau tidak, ya tidak apa-apa,” kilah Iwan seenaknya. Padahal dalam hatinya ia membenarkan ucapan Adi. Ia tahu benar bahwa mencuri adalah perbuatan yang tercela. Tapi Iwan berlagak tak peduli.
Pohon kedondong milik Pak Karim memang tinggi dan besar. Buahnya lebat dan sangat memikat. Tak heran kalau banyak anak-anak yang tertarik untuk mengambilnya.
Iwan sudah berdiri tepat di bawah pohon besar itu. Kepalanya mendongak dan pandangannya melahap dengan rakus buah-buah hijau yang bulat lonjong itu. Suasana di sekelilingnya benar-benar sepi. Ia merasa beruntung karena si Brino tengah mendengkur di dekat pintu.
Dengan hati-hati Iwan memanjat pohon besar yang bercabang banyak dan berdaun lebat itu. Sejenak ada keraguan dalam hatinya. Takut kalau-kalau cerita Pak Karim soal keangkeran pohon ini, benar-benar kenyataan. Tapi bulatan hijau yang besar-besar itu makin menggiurkan dan memaksanya untuk menghilangkan rasa ragunya.
Sesaat kemudian Iwan sudah asyik memetik buah-buah kedondong itu dan memasukkannya ke dalam kantung plastik, yang sengaja ia bawa dari rumah. Tangannya sibuk menjulur ke sana kemari sementara kepalanya menyeruak di antara rimbunnya dedaunan. Ia sudah tidak ingat lagi bahwa buah-buah itu sebenarnya bukanlah milik dia! Ia begitu gembira. Dalam hatinya ia menertawakan Adi yang tidak mau ikut dengannya.
Tapi mendadak ia tersentak kaget ketika merasakan tengkuknya gatal dan panas. Belum sepenuhnya ia menyadari apa yang terjadi, pahanya kembali merasakan sengatan itu. Lalu giliran tangannya, punggungnya, kakinya, pipinya…
Iwan jadi sibuk menggaruk sana-sini. Seluruh tubuhnya terasa panas dan gatal. Karena tak tahan lagi,
akhirnya ia melorot turun. Tapi malang, lengan bajunya tersangkut dahan yang mencuat ke atas. Tak ayal lagi, Iwan terjatuh! Ia meringis kesakitan dan mencoba untuk berdiri.
Iwan nyaris menjerit ketika melihat ulat-ulat besar yang menjijikan berjatuhan dari pakaiannya! Buru-buru ia bangkit dan menepiskan ulat-ulat kedondong yang memang terkenal galak.
Segera ia meninggalkan kebun Pak Karim dengan langkah terpincang-pincang dan badan yang penuh bentol. Gatalnya, bukan main! Sekarang ia tahu, bukan hantu yang menunggu pohon kedondong itu. Tapi, ulat-ulat besar yang bisa menyebar bentol itulah yang membuat Pak Karim selalu melarang anak-anak memanjat pohon kedondongnya.
Iwan sudah tak ingin lagi menikmati buah-buah kedondong yang barusan dipetiknya. Yang ia rasakan sekarang cuma gatal di seluruh tubuhnya dan rasa ngilu di kakinya, akibat terjatuh tadi.
Andai saja ia tak menuruti rasa sombongnya, tentu ia tak perlu menderita begini. Iwan benar-benar jera dengan ulah lancangnya!
oleh Panca Triwati
sumber: http://www.kidnesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar