“Aku juga, sayang. Selamat ulang tahun, ya,” Balasnya sambil mencium keningku. Aku sangat bahagia malam itu. Sosok seorang Yuda dapat membuatku melupakan masalah pelik yang sedang dihadapi oleh keluargaku. Sejak kami bertemu dan dekat, Yuda selalu membuatku tersenyum, ia selalu ada untukku, ia juga sangat memperhatikanku, dan aku pun begitu nyaman berada di sampingnya.
“Siapa?” tanyaku saat Yuda mengambil ponselnya yang berbunyi.
“Ayah, ia memintaku untuk menjemputnya di bandara.” Jawabnya. Sebelum Yuda beranjak, ia melingkarkan sebuah liotin di leherku.
“Hati-hati, Yud, aku sayang kamu!” Tanpa berkata apa-apa lagi, Yuda membawa gitarnya lalu pergi dari rumahku. Aku mengantarnya sampai pintu gerbang.
Setelah Yuda pergi, sebuah mobil suzuki swift hitam berhenti di depan rumahku.
“Selamat ulang tahun, Adilla sayang!!” ucap Mia dengan begitu semangat sambil membawa kue tart.
“Tiup lilinnya dan lupa meminta permohonan!” Bukan Mia namanya jika tak dapat menjahiliku. Dengan sengaja ia melumuri wajahku dengan kue black forrest itu saat aku sedang memejamkan mataku.
Aku segera membersihkan wajahku dan meninggalkan Mia di kamarku. Saat aku keluar dari toilet, kulihat kotak kado yang telah terbuka di atas tempat tidurku. Mia memainkan liontin yang kulepas tadi, akhirnya kami berdebat tentang itu.
“Itu pemberian adik sepupuku, Yeni.”
“Tapi aneh, mengapa ia tak memberimu liontin berinisial A, kenapa harus Y? Hmm.. Ini pemberian pemuja rahasiamu atau jangan-jangan kau menduakan Reno, ya? Hahaha… maaf aku terlalu sok tahu, Dil, jangan dimasukan hati, ya… aku hanya bercanda!” kata Mia sambil tersenyum.
Malam itu, Mia memutuskan menginap di rumahku, di samping hujan yang lebat, orang tuanya juga sedang bekerja di luar kota. Mia selalu bercerita tentang apa saja yang ia alami padaku. Aku pun kadang juga begitu. Akhir-akhir ini, aku sering memperhatikan Mia sedikit murung, sering melamun, kadang matanya sembab saat kami tak sengaja berpapasan di kampus.
“Sikapnya tiba-tiba berubah belakangan ini. Ia sering tak memberi kabar padaku. Ia selalu berkata sibuk saat aku ingin bertemu dengannya. Aku sedih, Dil, ia tak seperti yang dulu lagi.” tatkala Mia bercerita tentang pacarnya, perlahan air mata membasahi pipinya.
“Mungkin pacarmu sedang ada masalah, jadi ia ingin sendiri dulu. Cowok selalu beralasan sibuk saat mereka sedang mengalami masalah. Kamu tau sendiri, kan? Mereka gengsi ketika harus mengakui kalau mereka punya masalah.” Hiburku. Sedikit demi sedikit raut wajah Mia berubah. Ia sedikit tenang dan tak mengangis lagi.
“Kamu memang selalu bisa menghiburku. Terima kasih, sobat. Aku sayang kamu, Adilla!” kata Mia sambil memelukku.
“Iya… Mia!”
“Oh, ya, bagaimana kabar Reno?”
Kabar Reno? Cowok yang mengejar-ngejarku sejak pertama aku kuliah. Ia berada satu tingkat di atasku. Kami bertemu saat masa orientasi mahasiswa baru. Ia adalah seniorku yang ramah, tapi hanya padaku saat itu. Di hari terakhir ospek, saat aku sedang beristirahat bersama teman-temanku, ia menghampiriku, mengajakku mengelilingi kampus, dan menyatakan satu hal.
“Aku suka sama kamu!” jawabnya. Sungguh aku tak percaya, secepat itu ia menyatakan perasaanya padaku. Sejak saat itu, Reno selalu menghubungiku, mengirimi sms-sms romantis. Kupikir ia mengutipnya dari buku yang ia beli saat kami tak sengaja bertemu di toko buku dekat kampus. Tak hanya itu, Reno selalu membawakan makan siang untukku di kampus, kalau tak menemuiku saat kelas pertama usai, ia menghampiriku di kantin saat jam istirahat. Awalnya aku merasa biasa saja, mungkin itu caranya memperhatikanku, tapi lama kelamaan, aku jadi tak enak sendiri. Aku tak pernah sekali pun membalas pemberiannya.
Suatu hari saat aku datang ke kampus untuk mengetahui hasil ujianku dua minggu lalu, Paulina, seorang senior cewek yang merupakan teman Reno menghampiriku.
“Kamu Adilla, kan?”
“Iya, Kak, ada apa ya?”
“Reno lagi sakit, tuh. Sudah seminggu di rumah sakit. Tega, ya, kamu sampai hati enggak jengukin dia. Padahal dia perhatian banget sama kamu!” kata Paulina sambil memandangiku sinis.
Reno sakit? Sudah seminggu dan aku tak tau. Aku sempat berpikir sejak aku tak melihatnya lagi, mungkin ia sudah bosan, juga karena aku fokus dengan ujianku, tak ada waktu untuk memikirkannya…
“Maaf, Kak, aku gak tau sama sekali. Kebetulan setelah ini aku tak ada acara, jadi aku akan menjenguknya..” kataku.
“Baguslah kamu menyadarinya. Aku peringatkan, Reno adalah sahabatku, jika kamu berani menyakitinya, kamu akan berurusan denganku!” kata Paulina dengan nada mengancam.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku memikirkan segala hal yang telah Reno lakukan untukku dan tak ada hal yang kulakukan untuk membalas itu. Aku sadar, selama ini aku tak memperdulikannya. Hingga akhirnya ia jatuh sakit, bahkan aku harus mengetahuinya dari orang lain. Dalam hati, aku berjanji untuk membalas semua yang telah dilakukan Reno untukku. Sampai di rumah sakit, kulihat Paulina, keluar dari sebuah kamar, aku yakin di kamar itu Reno dirawat. Setelah ia jauh, aku masuk ke dalam kamar itu.
“Ren….” ya, itu Reno. Ia sedang terbaring lemas. Wajahnya sangat pucat. Ia agak sedikit kurus. Aku sangat merasa bersalah berada di sampingnya setelah ia berada dalam keadaan seperti itu.
“Reno, bangun, Ren, ini aku, Adilla,”
“Maafin aku, Dil, aku tak bisa membawakan makan siang unt….”
“Sudah, Ren, jangan pikirkan itu, sekarang yang terpenting adalah kesembuhanmu! Aku akan di sini buat merawatmu!” kataku, tanpa sadar air mataku berlinangan. Reno menghapus air mataku. Entah mengapa aku merasakan sesuatu dalam hatiku.
“Adilla, terima..”
“Aku yang harusnya berterimakasih sama kamu, Ren, kamu sudah mau memperhatikanku, aku minta maaf karena tak bisa membalasnya.”
“Kamu jangan bicara seperti itu, Dil, aku senang kamu sudah menjengukku.”
Hari demi hari kondisi Reno semakin membaik, seminggu kemudian ia sudah bisa kuliah seperti biasa. Setelah kuliah usai, aku berharap dapat bertemu dengannya. Namun sudah cukup lama aku menunggunya di depan kelas, ia tak kunjung datang. Mungkin ia masih ada kuliah, lalu Aku memutuskan untuk menemuinya. Benar saja, ia masih di dalam kelas bersama beberapa temannya, termasuk Paulina.
“Reno ada yang mencarimu!!” kata salah seorang temannya yang menyadari kedatanganku. Reno segera beranjak menghampiriku. Aku senang, ia kelihatan sangat segar hari itu. Reno mengajakku masuk dan memperkenalkanku pada teman-temannya, yang terlihat… agak jahil.
“Ini junior yang sering aku ceritakan itu. Cantik dan manis, kan?” kata Reno bangga. Senior-seniorku itu sangat ramah padaku. Tapi tidak dengan Paulina. Ia menatapku dengan tatapan yang sama sepertI saat pertama kami bertemu. Ia beranjak dari tempat duduknya saat aku mendekatinya, sepertinya ia tak senang atas kehadiranku.
“Jangan dimasukkan ke hati, ya, Dik. Dia memang seperti itu dengan orang yang baru dikenalnya.” Kata Kevin, teman Reno.
“Ya, Kak. Tapi maaf aku tak bisa lebih lama di sini, aku ada janji.” Balasku sambil tersenyum. Lalu aku meninggalkan mereka. Reno mengantarku menuju parkir. Ia tak bertanya apa-apa lagi, menurutku ia tipe orang yang tak tertarik untuk tau urusan pribadi orang, tak terkecuali orang terdekatnya. Ia hanya berpesan agar aku berhati-hati.
Kukemudikan mobilku meninggalkan kampus. Lalu lintas di sore hari yang tak begitu padat, membawaku lebih cepat ke tempat tujuanku. Mirai Cafe. Cafe yang letaknya tak jauh dari rumahku. Bisa dicapai dengan berjalan kaki.
“Sudah lama?” tanya seorang dengan nada lembutnya. Lalu ia duduk di depanku. Ia begitu tampan, mengenakan kemeja berwarna cream yang kupilihkan untuknya beberapa hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke sebuah mall.
“Bagaimana kuliahmu? Ujianmu? Liburanmu?” tanyanya.
“Semuanya baik-baik saja, bagaimana denganmu? Sudah sukseskan usaha distromu?”
“Sudah tentu sukses…! siapa dulu? Yuda!” paparnya bangga.
Yuda, kenalanku saat aku berbelanja ke sebuah distro yang ternyata adalah miliknya. Aku tertarik untuk menyambangi distro itu karena teman-teman kampusku sangat heboh membicarakannya. Kebetulan saat itu sedang ada diskon besar-besaran, sehingga membuatku berbelanja cukup banyak. Aku yang saat itu tak membawa mobil cukup kewalahan memasukkan barang-barang yang kubeli itu ke dalam taxi. Namun Yuda datang membantuku untuk membawanya. Intinya ia mengantarku pulang. Di perjalanan, kami cukup banyak bicara. Terlebih Yuda, ia menceritakan tentang bagaimana distro itu dibangunnya dulu, dari modal awal yang diberikan ayahnya yang seorang pengusaha konfeksi.
“Awalnya ayahku sangat ragu untuk memberi modal, karena dulu usaha-usahaku tak pernah berjalan semulus ini.” Kata Yuda.
“Kamu punya semangat kerja yang tinggi juga, ya. Tak seperti aku, yang hanya bisa menghabiskan uang orang tuaku..” mendengarnya, Yuda tertawa.
Setelah kami sampai di rumahku, Yuda membawa semua barang belanjaanku masuk. Aku menawarinya untuk singgah sebentar untuk minum, namun ia mengatakan lain kali saja. Ia berpamitan untuk kembali ke distronya.
“Aku Yuda.”
“Aku Adilla, terima kasih, ya, maaf merepotkan.”
“Tak apa. Senang bertemu denganmu, Dil!” setelah itu Yuda sering mengajakku ke distronya. Ia juga sering menjemputku di kampus. Sesekali ia mengajakku mampir ke rumahnya untuk bertemu dengan ayahnya. Ayahnya tak ubahnya Yuda, ia sangat ramah padaku. Ia memintaku untuk memanggilnya ayah. Ia juga memintaku untuk menjaga Yuda saat ia tak berada di sampingnya.
“Yuda tak pernah sekali pun mengajak teman wanitanya ke rumah..” kata ayah Yuda padaku saat Yuda tengah menyiapkan makan malam.
“Mungkin saat itu ayah sedang tak ada di rumah..” kataku sambil tertawa. Makan malam itu sangatlah berarti bagiku. Suatu malam dengan orang-orang yang kucintai. Semeja dengan seorang ayah dan seorang… Yuda.
“Yuda, terima kasih untuk hari ini, selamat malam!” kataku sebelum membuka pintu mobil Yuda.
“Dil….” Yuda menarik tanganku sesaat sebelum pergi. “Pejamkan matamu,” tambahnya. Aku merasakan sesuatu mendekatiku, desah nafasnya, harum tubuhnya, yang semakin mendekat.
Yuda menciumku.
“Engg… selamat malam, Yud!” kataku gugup lalu meninggalkannya.
Pagi-pagi benar ponselku berdering. Dengan mata yang masih berat, aku mengambilnya di meja. Telepon dari Reno.
“Pagi, Adilla… hari ini aku akan menjemputmu, ada sesuatu yang sangat ingin aku bicarakan!” kata Reno. “Aku tunggu di depan, ya, sampai jumpa!” ia menutup teleponnya. Aku terpaksa membatalkan janjiku dengan Yuda pagi itu. Aku tau Yuda sedikit kecewa, huft. Aku segera bersiap-siap pergi ke kampus. ponselku berdering lagi. Satu pesan dari Mia.
Mia : Dilla, aku ingin mengenalkanmu pada seseorang, ajak Reno juga, ya!
Aku : Oh, ya? Sampai jumpa nanti!
Aku segera keluar kamar setelah mendengar bunyi klakson mobil Reno.
“Pagi, Adilla, aku membelikan ini untukmu…” Reno memberikanku seikat bunga mawar putih.
“Terima kasih, Ren..” balasku. Lalu Reno mengemudikan mobilnya menuju kampus. Pagi itu kampus sudah ramai, mungkin karena grup teater dari kampusku akan mengadakan sebuah pertunjukan operet, begitulah yang kudengar dari Mia. Reno memarkirkan mobilnya di bawah sebuah pohon ketapang. Aku mendengar seperti suara Mia dari balik pohon itu. Aku lalu mendekatinya.
“Kau menemukanku, Dilla!!!” katanya.
“Hai, Kak Reno, aku Mia, sahabat Dilla..” kata Mia sambil tersenyum.
“Hai juga Mia..”
“Sayang, sini sebentar, aku akan mengenalkanmu pada sahabatku dan pacarnya…” kata Mia sambil melihat ke arah seorang laki-laki yang sedang membeli minum.
“Mia jangan bergurau sembarangan..”
Apa yang kulihat di depan mataku saat ini? Apakah aku sedang bermimpi? Mia menggandeng pacarnya, Yuda. Kulepas tangan Reno yang menggenggam tanganku di depan mereka.
“Yuda, kenalkan, ini Adilla sahabatku, dan itu Reno…. engg..”
“Reno, teman dekat Adilla.” Aku diam mematung melihat kedua lelaki itu saling berjabat tangan. Reno yang lalu tersenyum ke arahku dan Yuda yang memilih untuk membuang muka.
“Mia, aku mau bertemu dosen sebentar, ya. Sepertinya aku ada perbaikan nilai ujian. Maaf tak bisa mengobrol bersama kalian lebih lama.” Aku lalu bergegas meninggalkan mereka secepat mungkin. Aku tak bisa menahan air mata ini lebih lama lagi. Tanpa kusadari Reno mengikutiku, lalu ia mencegatku.
“Dil, kamu kenapa? Kamu tiba-tiba aneh.” Tanya Reno padaku. Entah mengapa air mata ini memilih jatuh di depan Reno.
“Adilla, mengapa kamu menangis? Kalau kamu ada masalah, kamu bisa cerita….”
“Cukup, Ren, kamu jangan pernah mengikutiku lagi, jangan mendekatiku lagi! ini terakhir kalinya kamu muncul di hadapanku!” bentakku lalu lari meninggalkannya.
Apa yang terjadi di kampus hari ini larut dalam tangisanku. Tak kuhiraukan Reno dan Mia yang berkali-kali menghubungiku. Semua ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku tak ada perasaan apapun terhadap Reno. Aku hanya mencintai Yuda. Tapi haruskah aku berhenti mencintai Yuda yang ternyata adalah kekasih sahabatku, Mia?
Suara ketukan pintu membangunkan aku dari tidurku. Suara yang sedari tadi tak letihnya menggema di telingaku.
“Dil, ini aku… Yuda.”
“Dil, tolong buka pintunya, jangan sakiti dirimu sendiri. Aku sayang kamu, Dil!”
“Sayang katamu? Lalu mengapa kamu lakukan itu, Yud? Mia itu sahabat aku!”
“Aku akan ceritakan, tapi tolong.. buka pintunya, Dil, aku mohon.” Yuda memelukku setelah kubuka pintu kamarku. Ia menenangkanku sambil menghapus pipiku yang basah oleh air mata dengan sapu tangannya. Inilah sisi lain Yuda yang baru sekarang kuketahui.
“Aku hanya ingin menyenangkannya. Aku kasihan, umurnya sudah tak lama lagi, Dil..”
“Maksudmu tak lama lagi apa, Yud?”
Apa yang dikatakan Yuda tentang sebuah rahasia yang disimpan rapat oleh Mia selama ini, aku sungguh tak percaya, mengapa hal mengerikan itu menimpa sahabat baikku? Mia mengidap penyakit kanker hati stadium lanjut. Meski ia tak bercerita, bahkan aku tak dapat merasakan sakit yang diderita sahabatku. Aku mencoba menghubungi Mia berkali-kali namun tak kunjung mendapat balasan. Perasaanku mulai tidak enak, ditambah Yuda yang mengatakan saat ia mengantar Mia pulang, wajahnya sangat pucat.
“Ya, Tuhan, semoga tak terjadi hal buruk yang menimpa sahabatku.” Ucapku dalam hati. Saat itu juga aku meminta Yuda mengantarku ke rumah Mia. Di perjalanan, hal-hal buruk memenuhi pikiranku, kuminta Yuda memacu mobilnya lebih kencang.Tak ada hal yang aneh saat kami sampai di rumah Mia. Mobil suzuki swift itu masih terparkir rapi dalam garasi. Lampu kamar Mia di lantai atas juga masih menyala. Pembantu di rumah itu mempersilahkan kami masuk lalu membawa kami menemui Mia.
“Non Mia tidak keluar kamar sejak ia pulang dari kampus, Non. Bibi jadi khawatir, tapi barusan bibi mengetuk pintu kamarnya, Non Mia menyuruh bibi untuk menyiapkan makan malam.” Jelasnya.
“Mia, ini aku, Dilla, apa aku boleh masuk?” tak terdengar suara apapun di dalam. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. Kucoba membuka pintu kamarnya, namun ternyata terkunci. Bibi bergegas mencari kunci serep di dapur. Yuda yang sudah sangat khawatir mendobrak pintu itu. kami sangat terkejut tatkala mendapati Mia tergeletak lemas di lantai. Wajahnya sangat pucat dan tubuhnya begitu dingin.
Segera kami membawanya ke rumah sakit. Beruntung saat itu kami bertemu dengan dokter yang menangani penyakit Mia selama ini. Ia sangat terkejut melihat keadaan pasiennya itu. Ia langsung membawa Mia menuju ruang operasi.
“Tolong, Dok, selamatkan sahabat saya.” Pintaku pada dokter itu sambil mengangis.
“Kami akan berusaha semampunya dan menyerahkan semua ini kepada yang di Atas.” Lalu ia memasuki ruang operasi diikuti para suster yang membawa alat-alat keperluan operasi.
Yuda menenangkanku yang tak hentinya menangis. Aku sungguh sangat tak ingin kehilangan sahabatku yang sangat kucintai. Tapi aku tak pantas disebut sahabat. Aku membohonginya dan menjalin hubungan yang tak semestinya dengan orang yang sangat Mia cintai. Aku telah bersenang-senang di atas penderitaan Mia.
Penantian selama empat jam itu terhapuskan saat tim yang melakukan operasi terhadap Mia keluar dari ruang operasi. Aku segera menemui sang dokter.
“Bagaimana keadaan Mia, Dok? Ia baik-baik saja, kan?” tanyaku namun raut wajah dokter itu membuatku tak percaya.
“Ia sangat keras kepala. Saya sudah membujuknya untuk melakukan operasi sejak awal saya memvonisnya mengidap penyakit kanker, tapi ia selalu menolak. Hingga kini penyakitnya berada di stadium lanjut, meski dengan kemotherapy pasca operasi, umurnya sudah tak lama lagi. Namun demikian, kita tetap harus berdoa semoga Tuhan memberikan sebuah kejaiban untuknya.”
“Apa saya boleh menengoknya, Dok?”
“Oh, tentu. Mungkin ia sudah siuman sekarang.” Kata dokter itu lalu meninggalkan kami. Aku dan Yuda segera menemui Mia. Air mataku membasahi pipiku lagi, melihat Mia terbaring seperti itu di depanku, dengan vonis dokter yang mengatakan umurnya sudah tidak lama lagi.
“Apa aku masih pantas menemuimu setelah semua yang kebohongan yang kulakukan di belakangmu?” bisikku lirih sambil menggenggam tangan Mia. Aku berdoa agar Tuhan memberikan kesempatan bagi Mia untuk menjawab pertanyaanku.
“Masih pantaskah aku disebut sebagai sahabat olehmu, Mia? Bangun, Mia, bangun!”
“Sudah, Dil, sudah, kamu hanya akan memperburuk keadaan….”
“Tak apa, Yud..” suara yang seperti aku kenal. Tangan yang mempererat genggaman tanganku. “Akulah yang lebih tak pantas disebut sebagai sahabat karena aku memaksakan kehendak orang yang sangat dicintai oleh sahabatku untuk mencintaiku, semata-mata untuk membahagiakanku di sisa terakhir hidupku.”
“Kamu akan sembuh, Mia, percaya sama aku..” kataku meyakinkan Mia yang pandangannya mulai sayup-sayup dan nafasnya mulai putus-putus. Mia menggeleng.
“Tidak, Dil, berjanjilah satu hal padaku, kamu akan menjaga Yuda, mencintai dan berada di sisinya untuk selamanya. Jangan tinggalkan dia.” Mia menyampaikannya dengan terbata-bata. “Aku sudah menyadarinya sejak lama. Yuda sangat mencintaimu, begitu juga denganmu, kan? Liontin yang kamu kenakan itu adalah pemberian Yuda untukku, tapi kurasa itu lebih cocok jika dikenakan olehmu, Dil. Aku mengembalikannya dan meminta Yuda memberikannya padamu…” itulah kata-kata terakhir yang disampaikan Mia untukku dan Yuda. Ia tidur dengan tenang dan untuk selamanya.
Maaf, Mia, aku tak bisa menepati janjiku. Aku tak bisa menjaga Yuda. Aku telah melepasnya. Karena aku pun tak pantas bersamanya. Maafkan aku, Mia. Setelah aku memutuskan hubunganku dengan Yuda, aku memilih pindah kuliah ke luar negeri bersama kakakku. Aku sengaja tak menemui Yuda dan Reno karena aku sangat merasa bersalah pada mereka. Sesaat sebelum aku pergi, aku bertemu dengan Paulina. Namun kali ini tatapan matanya padaku tak seperti dulu lagi.
“Semoga perjalananmu menyenangkan!”
“Terima kasih.” Aku pun pergi. Pesawatku akan segera terbang.
Tak ada yang berubah setelah aku meninggalkan kota kelahiranku lima tahun yang lalu. Semuanya masih sama. Gerbang rumahku masih berdiri kokoh, nampaknya baru selesai direnovasi. Gadis kecil tetanggaku kini sudah berseragam anak sekolahan, kira-kira sekolah dasar kelas 2. Dan seseorang masih meningatku.
Mungkin Reno yang memberitahu alamat rumahku pada Kevin. Oh, ya. Seniorku itu kini berpenampilan beda. Ia tak lagi mengenakan kaca mata, ia tak lagi menenteng tas penuh buku kemana-mana. 5 tahun, waktu yang cukup untuknya berubah. Aku tak bisa berhenti tertawa melihat perubahannya.
“Mungkin ini bisa membuatmu berhenti tertawa!” Kevin menyodorkan sebuah kartu undangan padaku. Tapi ia salah, salah besar. Tawaku masih menggema, meski putus-putus.
“Akhirnya kau diam juga.”
“Aku tak tau harus berekspresi seperti apa..”
Tepat di hari ulang tahunku yang ke 25 tahun, ada perayaan yang masing-masing berarti. Aku senang, bahagia, di umurku yang ke 25 tahun ini, semua teman-temanku dalam keadaan yang berbahagia. Kevin yang telah lulus S2 dengan IP tertinggi, pasangan pengantin baru yang berbahagia, Reno dengan Paulina, dan seorang laki-laki yang membawa kue tart bertuliskan namaku. Ucapan ulang tahun itu, ia sendiri yang mengucapkannya langsung..
Ketika cinta yang telah kau hancurkan di hari kemarin, yang kau tinggalkan karena sebuah alasan, kembali ke sisimu, mengisi kekosongan di bibir merahmu dengan senyumnya untuk sebuah alasan. Apa yang akan kau lakukan? Akankah kau mengatakan masih mencintainya, atau meminta maaf untuk..
“Maukah kamu menikah denganku?”
Aku mengatakan “ya” untuknya, Yuda.
Cerpen Karangan: Triyana Aidayanthi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar